Sabtu, 11 Februari 2012

Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu

Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]

Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:
1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.
Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)
3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)
4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)
5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)
Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)
6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)
7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)
9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari
Artikel www.muslim.or.id

Permasalahan Adzab Kubur

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apakah adzab kubur itu menimpa jasad ataukah menimpa ruh ?"

Jawab :
Pada dasarnya adzab kubur itu akan menimpa ruh, karena hukuman setelah mati adalah bagi ruh. Sedangkan badannya adalah sekedar bangkai yang rapuh. Oleh karena itu badan tidak memerlukan lagi bahan makanan untuk keberlangsunganya ; tidak butuh makan dan minum, bahkan justru dimakan oleh tanah.

Akan tetapi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata bahwa ruh kadang masih bersambung dengan jasad sehingga diadzab atau diberi nikmat bersama-sama. Adapula pendapat lain di kalangan Ahlus Sunnah bahwa adzab atau nikmat di alam kubur itu akan menimpa jasad, bukan ruh.

Pendapat ini beralasan dengan bukti empiris. Pernah dibongkar sebagian kuburan dan terlihat ternyata bekas siksa yang menimpa jasad. Dan pernah juga dibongkar kuburan yang lain ternyata terlihat bekas nikmat yang diterima oleh jasad itu.

Ada sebagian orang yang bercerita kepadaku bahwa di daerah Unaizah ini ada penggalian untuk membuat benteng batas wilayah negeri. Sebagian dari daerah yang di gali itu ada yang bertepatan dengan kuburan. Akhirnya terbukalah suatu liang lahat dan di dalamnya masih terdapat mayat yang kafannya telah dimakan tanah, sedangkan jasadnya masih utuh dan kering belum dimakan apa-apa. Bahkan mereka mengatakan melihat jenggotnya, dan dari mayat itu terhambur bau harum seperti minyak misk.

Para pekerja galian itu kemudian menghentikan pekerjaannya sejenak dan kemudian pergi kepada seorang Syaikh untuk mengutarakan persoalan yang terjadi. Syaikh tersebut berkata, "Biarkan dalam posisi sebagaimana adanya. Hindarilah ia dan galilah dari sebelah kanan atau sebelah kiri !".

Beralasan dari kejadian-kejadian seperti ini, ulama menyatakan bahwa ruh terkadang bersambung dengan jasad, sehingga siksa itu menimpa ruh dan jasad. Barangkali ini pula yang diisyaratkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Sesungguhnya kubur itu akan menghimpit orang kafir sehingga remuk tulang-tulang rusuknya". Ini menunjukkan bahwa siksa itu menimpa jasad, karena tulang rusuk itu terdapat pada jasad. Wallahu A'lam

Pertanyaan :
Apakah adzab kubur menimpa orang mukmin yang bermaksiat ataukah hanya menimpa orang kafir .?

Jawab :
Adzab kubur yang terus menerus akan menimpa orang munafik dan orang kafir. Sedangkan orang mukmin yang bermaksiat bisa juga disiksa di kubur. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, bahwa pernah suatu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, melewati dua kuburan seraya bersabda : "Kedua penghuni kuburan itu diadzab dan keduanya bukannya diadzab lantaran dosa besar. Salah satunya diadzab karena tidak bertabir dari kencing, sedangkan yang satunya suka kesana-kemari mengumbar fitnah (mengumpat)" Kedua penghuni kubur itu jelas orang muslim.

Pertanyaan :
Apakah adzab kubur itu terus menerus ataukah tidak ?

Jawab :
Jika seseorang itu kafir --na'udzu billah-- maka tidak ada jalan baginya untuk meraih kenikmatan selama-lamanya, sehingga siksa kubur yang ia terima itu sifatnya terus menerus.

Namun orang mukmin yang bermaksiat, maka di kuburnya ia akan diadzab sesuai dengan dosa-dosa yang dahulu pernah ia perbuat. Boleh jadi adzab yang menimpa lantaran dosanya itu hanya sedikit sehingga tidak memerlukan waktu penyiksaan sepanjang ia berada di alam barzah antara kematiannya sehingga bangkitnya kiamat. Dengan demikian, jelas bahwa adzab yang menimpanya itu terputus, dan bukan selamanya.

Pertanyaan :
Apakah adzab kubur itu bisa diringankan atas orang mukmin yang bermaksiat ?

Jawab :
Memang benar bahwa adzab kubur itu bisa diringankan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melalui dua kuburan lantas berkata,"Kedua penghuni kubur itu di adzab, dan dia diadzab bukan karena dosa besar, tapi hakekatnya juga besar. Salah satunya tidak membersihkan diri atau tidak bertabir dari kencing, sedangkan yang satunya lagi biasa kian kemari menghambur fitnah". Kemudian beliau mengambil dua pelepah kurma yang masih basah kemudian membelahnya menjadi dua, lalu menancapkannya pada masing-masing kuburan itu seraya bersabda :"Semoga bisa meringankan adzab yang menimpa kedua orang itu selama pelepah itu belum kering". Ini merupakan satu dalil bahwa adzab kubur itu bisa diringankan, yang menjadi pertanyaan, apa kaifiatnya antara dua pelepah kurma itu dengan diringankannya adzab atas kedua penghuni kubur itu ?

Ada yang memberikan alasan bahwa karena kedua pelepah kurma itu selalu bertasbih selama belum kering, dan tasbih itu bisa meringankan siksaan yang menimpa mayit. Berpijak dari sini ada yang mengambil alasan akan sunnahnya berziarah kubur dan bertasbih di situ untuk meringankan adzab yang menimpa si mayit.

Sedangkan ulama lain menyatakan bahwa alasan seperti ini lemah, karena kedua pelepah kurma itu senantiasa bertasbih, apakah dalam kondisi basah maupun sudah kering. Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka". [Al-Isra' : 44]

Pernah juga terdengar tasbihnya kerikil oleh Rasulullah, sedangkan kerikil itu kering. Lalu, apa yang menjadi alasan sekarang .? Alasannya, bahwa ; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharap kepada Allah 'Azza wa Jalla agar berkenan meringankan adzab yang menimpa kedua orang di atas selama kedua pelepah kurma itu masih basah.

Artinya, waktu permohonan beliau itu tidak lama, hanya sebatas basahnya pelepah kurma. Ini dimaksudkan sebagai ancaman terhadap siapa saja yang melakukan perbuatan seperti kedua mayit yang diadzab itu. Karena sebenarnya dosa yang diperbuat itu termasuk besar. Salah satunya tidak menjaga diri dari kencing. Jika demikian, ia melakukan shalat tanpa adanya kesucian dari najis. Sedangkan yang satunya lagi kian kemari mengumbar fitnah, merusak hubungan baik sesama hamba Allah --na'udzu billah--, serta menghembuskan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan itu berdampak besar.

Inilah alasan yang lebih mendekati. Jadi, itu merupakan syafaat sementara dari beliau dan sebagai peringatan atau ancaman kepada umatnya, dan bukan merupakan kebakhilan beliau untuk memberikan syafaat yang kekal.


[Disalin dari kitab Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, Pustaka At-Tibyan]

Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dha’if

Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam haruslah berlandaskan hadits shahih, bukan hadits dha’if. Allah ta’ala telah mengistimewakan agama ini dengan adanya sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad merupakan penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih wajib diamalkan, adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad hadits tersebut shahih ataukah tidak?
Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
سالت ابي عن الرجل يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول الله صلى الله عليه و سلم – والصحابة والتابعين وليس للرجل بصر بالحديث الضعيف المتروك ولا الاسناد القوي من الضعيف فيجور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به ويعمل به قال لا يعمل حتى يسأل ما يؤخذ به منها فيكون يعمل على امر صحيح يسال عن ذلك اهل العلم
“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai kitab yang memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan tabi’in. Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan sanad hadits yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh diamalkan dari kitab-kitab tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut.“ (I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).
Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits dan pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya menjadi spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan mereka adalah pribadi yang menghafal seluruh periwayatan para rawi yang sangat mengilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi yang menjadi landasan beragama mereka adalah hadits dan atsar yang dinukil (secara turun temurun) dari masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga masa kita sekarang.” (At-Tamyiz hal. 218).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata,
فأما الأئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان
“Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl Ilmi as-Salaf hal. 57) .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة
“Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih (valid berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fatawa 1/250).
Al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi).
Diterjemahkan dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal. 9-10, karya Zakariya bin Ghulam Qadir al-Bakistani.
Gedong Kuning, Yogyakarta, 5 Rabi’ ats Tsani 1431.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

Senin, 14 November 2011

Akhirnya Aku Mengerti Hakekat Tauhid 2

Setelah diskusi berlangsung beberapa kali, pendeta tersebut minta maaf karena tidak bisa melanjutkan diskusi lagi karena akan pergi ke luar negeri selama beberapa waktu. Beliau merekomendasikan dua orang pendeta untuk menggantikan posisi beliau selama beliau tidak ada. Pendeta pertama adalah seorang yang dulunya beragama Islam namun keluar (murtad) dari agama Islam dan menjadi pendeta. Saat kami mendatangi rumah pendeta ini, dari pembicaraan dengannya terkesan bahwa beliau menolak dan menghindar dengan alasan yang tidak jelas. Pendeta kedua adalah seorang doktor teologia ahli perbandingan agama dan memiliki kedudukan yang cukup tinggi di sebuah universitas. Karena kesibukan dan kedudukan beliau inilah, kami agak kesulitan menemui beliau. Ketika akhirnya kami berhasil menemuinya, ternyata beliau keberatan dan tidak bersedia berdiskusi bersama kami dengan alasan sibuk. Pendeta kedua ini menyarankan agar kami kembali berdiskusi dengan pendeta X.


Karena proses diskusi ini (yang tadinya aku berharap begitu banyak para pendeta ini dapat memberi pelajaran pada A) ternyata sedikit terhambat, akhirnya aku mendatangi pendeta X seorang diri. Aku menceritakan semua hal berkenaan dengan latar belakang diskusi ini dan aku memohon kepada beliau untuk membantuku meneruskan proses diskusi dengan A. Sayangnya… ternyata beliau menolak permintaanku dengan alasan yang tidak jelas –bahkan bisa dikatakan tanpa alasan-. Sebagaimana harapan besar lainnya – yang jika tertumpu pada seseorang namun ternyata tidak dipenuhi oleh orang tersebut-, maka kekecewaan yang besar pun kurasakan waktu itu. Ketika aku pamit pulang, pendeta tersebut masih sempat berpesan kepadaku,

“Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu menikah dengan dia (A). Kalau dia tidak mau masuk agama Kristen, pertahankan imanmu (iman Kristen).”

Gundah, bingung, sedih, dan kekecewaan yang menumpuk, semua bergumul menjadi satu setelah mendapat berbagai penolakan dari pihak-pihak yang aku harapkan dapat membantuku memberi penjelasan tentang agama Kristen ini kepada A. Bahkan pihak-pihak ini adalah orang yang kuanggap pakar dan ahli sehingga dapat membantuku menjawab dan menjelaskan tentang agama Kristen kepada A. Aku pun merasakan sesuatu yang janggal dari pesan terakhir dari pendeta X. Aku simpulkan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki argumen dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan aku merasakan bahwa ada sesuatu yang kurang dari agama ini (Kristen).

Sejak itulah, aku berusaha melihat dan menilai Islam dan Kristen sebagai dua agama yang sejajar kedudukannya, dan aku berusaha berada pada posisi netral seakan-akan sedang menjadi juri untuk keduanya. Berat dan tertekan. Itu yang aku rasakan ketika harus bergumul dan berusaha keras untuk melepaskan diri dari doktrin Kristen. Doktrin yang telah aku cintai sejak kecil dan telah kuikat secara sungguh-sungguh. Namun, dari sinilah aku mulai membuka diri dengan selain Kristen. Aku baru bisa mulai mempelajari seperti apa Islam sebenarnya. Kesan pertama yang kudapatkan dalam penilaianku adalah, ‘Apa yang jelek dari Islam? Kelihatannya ajarannya ok ok saja.’ Sambil melakukan ini, aku tetap terus membaca Alkitab Kristen.

Suatu ketika, A mengajukan suatu ayat dalam Alkitab yang mengatakan,”Jangan sampai kita sudah setiap hari menyeru ‘Tuhan-Tuhan,’ tetapi tidak selamat seperti yang tertulis dalam Injil.”

Kata-kata ini terpatri dalam benakku. Malam harinya, aku mencari ayat itu dalam Alkitab dan menemukannya, yaitu pada Matius 7:21, yang isinya, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan!’ akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-ku yang di sorga.”

Aku termenung seakan-akan tak percaya yang aku baca. Perlahan-lahan ‘ku tutup Alkitab yang sedang kubaca tersebut.

Keesokan harinya dan hari-hari sesudahnya terasa seperti hari penuh perenungan untuk pikiran dan benakku. Walaupun aku (berusaha) beraktifitas seperti biasa, namun pikiranku tidak tenang memikirkan ayat tersebut. Untuk meyakinkan diriku, ‘ku baca kembali ayat tersebut berulang-ulang, namun ternyata aku justru menjadi ketakutan setelah memikirkan makna yang terkandung di dalamnya. Sepertinya ayat ini sangat berkaitan dengan apa yang telah aku lakukan selama ini, dan aku takut ternyata aku termasuk yang pada akhirnya tidak masuk surga. Jangan-jangan apa yang kulakukan selama ini walaupun dengan kecintaan dan kesungguhan dan penuh perjuangan adalah hal sia-sia.

Sejak itu, aku mulai tertarik dengan Islam dan menjadikannya alternatif pengganti agamaku. Aku mulai bekerja di luar kota Yogyakarta di sebuah Puskesmas di Banjarnegara. Sendirian… tanpa sanak saudara ataupun teman dekat dan sahabat yang dapat kuajak diskusi tentang Islam. Aku belajar tentang Islam dari pengajian-pengajian masjid di desa yang terdengar dari pengeras suara atau acara desa dan kecamatan yang biasanya terdapat sentilan tentang ajaran Islam. Dan tentu saja tak ketinggalan, aku belajar dari diskusi yang sangat sangat banyak dengan A.

Sampai pada akhirnya, A menawarkanku untuk masuk Islam, dan akupun menyetujuinya walaupun tidak langsung melaksanakannya. Aku masih terus berdiskusi, belajar dan berpikir sehingga aku benar-benar merasa yakin dan mantap untuk memeluk agama Islam. Dan ketika keyakinan ini bertambah kuat, aku merasa ada kebutuhan mendesak yang harus kulakukan, yaitu aktifitas menyembah Allah. Rasanya keyakinanku akan sia-sia dan terasa hampa jika tidak ada aktifitas ibadah yang harus aku lakukan untuk menyembah Allah. Namun, aku sama sekali belum bisa cara beribadah yang ada pada Islam.

Dengan melihat orang sholat di televisi dan memperhatikan teman sholat, akhirnya aku berusaha meniru gerakan sholat. Tentu saja segala sesuatunya masih kacau saat itu. Dengan hanya memakai piyama tidur (tanpa tahu ada aturan harus menutup seluruh aurat saat shalat) menggelar selimut untuk dijadikan sajadah, dan berdiri tidak mengetahui harus menghadap kemana, aku sholat. Ya! Aku sholat! Hanya dengan tiga kalimat yang aku ketahui, bismillahirrahmanirrahim, allahu akbar, dan alhamdulillah dan dengan gerakan yang tanpa urutan dan aturan. Rasanya melegakan karena aku melepaskan keinginan untuk menyembah satu Ilah dan hanya Ilah inilah yang harus aku sembah. Aku lakukan ini berkali-kali tanpa diketahui oleh siapapun. Aku masih belum mengetahui tentang pembagian sholat yang lima waktu. Aku masih sendirian saat itu, menjadi kepala Puskesmas, dan aku pun masih merahasiakan statusku dari siapapun termasuk staf di kantor bahkan Si A tidak tahu kalau aku melakukan sholat karena aku masih malu, takut dan masih menutup diri. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengajariku.

Sampailah waktunya…
Aku dan A memberanikan diri datang kepada orangtuaku. Di situ, A mengutarakan keinginanku untuk memeluk agama Islam kepada orangtuaku. Dapat dibayangkan apa yang terjadi. Kekagetan luar biasa, marah, tidak percaya mengelegak keluar. Orangtua memintaku mengutarakan sendiri hal tersebut, dan aku pun mengatakan hal yang sama, “Aku ingin masuk Islam.” Mereka tetap tidak percaya dan memintaku memikirkannya kembali. Aku kembali ke Banjarnegara dan A juga kembali ke Jakarta tempat ia bekerja.

Beberapa waktu kemudian, Bapak, Ibu dan adikku menemuiku di Banjarnegara. Menanyakan kembali keputusan akhirku. Saat itu, aku meminta A menemaniku, karena aku dalam kondisi sangat takut dan kalut. Jawabanku pun tetap sama, “Aku ingin masuk Islam.”

Betapa orangtuaku marah mendengarnya. Sebuah kemarahan yang aku belum pernah menyaksikan sebelumnya. Ibu berkata, “APA KAMU SANGGUP MENGHIANATI YESUS!!! TEGANYA ENGKAU DENGAN YESUS!!!”

Rasanya hatiku teriris mendengar teriakan marah dan kekecewaan yang luar biasa dari kedua orangtuaku tersebut. Aku pun memahami jika akan seperti ini, karena seluruh keluarga besar beragama Kristen dan hampir seluruhnya adalah aktivis-aktivis gereja, sering berkhotbah di gereja. Tidak ada satupun yang beragama lain. Dan… aku yang diperkirakan juga akan mengabdi dengan sesungguhnya pada agama Kristen ternyata menjadi orang pertama yang masuk ke agama Islam. Tentu ini hal yang sangat berat terutama untuk kedua orangtuaku. Anggapan-anggapan negatif baik dari pihak keluarga, jemaat gereja, keluarga besar lainnya tentu akan datang bertubi-tubi menekan mereka. Dengan keputusanku yang tidak berubah ini, akhirnya hubunganku dengan keluarga menjadi agak renggang.

Derai air mata sejak itu masih terus mengalir. Aku sempat ragu ketika mengingat perkataan ibuku,

“Sanggupkah engkau mengkhianati Yesus.”
“Tegakah pada Tuhan Yesus.”

Pikiranku terus berkecamuk, ‘Benarkah itu? Benarkah aku harus menyembah Yesus? Benarkah jika aku memeluk Islam, Yesus akan marah?’ Berkutat pada kebimbangan antara perkataan orangtuaku dan apa yang telah kupelajari dalam Islam. Dalam puncak kebingunganku, aku bermimpi…

Aku hendak pergi tidur. Tiba-tiba… terdengar ketukan dari jendela kayu yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Kubuka jendela tersebut dan aku kaget karena ternyata di depanku ada sesosok Yesus (wajahnya memang tidak jelas, namun berjubah dan dalam mimpi itu aku dipahamkan bahwa itu adalah Yesus). Sosok itu tidak berbicara apa-apa namun tampak seperti tersenyum, tidak marah dan mengulurkan tangannya (seperti) hendak menyalamiku. Sosok tersebut tidak berbicara namun aku dipahamkan bahwa maksud beliau adalah mengucapkan selamat kepadaku. Setelah itu sosok tersebut berlalu.

Aku pun terbangun dalam keadaan bingung dan takut. ‘Apa maksud mimpi ini?’ pikirku. Apakah ini suatu tanda bahwa pilihanku benar.

Waktupun berlalu dan aku semakin mengokohkan keputusanku untuk memeluk agama Islam. A yang hampir selalu hadir dalam perjalananku menggapai hidayah Islam ini akhirnya melamarku. Alhamdulillah…akhirnya orangtuaku pun mengizinkan kami menikah. Hubungan kami dengan keluargaku sudah baik kembali sampai saat ini. Kami menikah dengan wali dari KUA. Rasa haru dan bahagia menyelimutiku saat itu. Setelah menikah, aku langsung minta dibelikan mukena dan minta diajarkan shalat. Dan A terus mendampingiku dan mengajarkanku shalat lima waktu. Sampai aku telah dapat melakukan shalat sendiri, A baru bisa menjalankan kewajibannya untuk shalat di masjid.

Perjalananku dalam memahami Islam tentu saja tidak berhenti sampai di situ. Setelah lima tahun sejak aku masuk ke dalam agama Islam, aku melanjutkan studi S2 di FK UGM, jurusan Ilmu Kedokteran Dasar dan Biomedis (minat Histologi dan Biologi Sel) dan aku seperti tersentak untuk kedua kalinya. Aku baru menyadari dan memahami betapa Allah mengatur segala sistem dalam tubuh kita dengan begitu rapi, canggih, teratur, beralasan dan sempurna sampai ke tahap molekuler, tanpa kita sadari. Aku banyak termenung saat menyadari hal itu, namun juga menjadikanku banyak bertanya kepada dosen pakar saat itu. Subhanallah, Dia-lah pencipta, pengatur, pemelihara yang sedemikian rupa rumitnya. Dan tidak mungkin semua itu berjalan, berproses dan bermekanisme dengan sendirinya. Mulai saat itulah aku lebih terpacu lagi untuk belajar dengan membaca dan memahami Al-Qur’an.

Dan proses belajar itu terus berlangsung sampai sekarang. Dahulu aku telah mengetahui bahwa Allah-lah, Ilah yang disembah dalam agama Islam. Namun, perlu waktu bertahun-tahun untuk aku memahami bahwa hanya Allah-lah Ilah yang BERHAK untuk disembah. Dan pemahaman ini ternyata suatu perkembangan, semakin kita belajar mengenal Rabb kita, insya Allah semakin bertambahlah pemahaman dan ketauhidan kita, dan akan semakin sadar bahwa masih banyak sekali hal yang tidak kita ketahui. Dari proses pembelajaran inilah aku semakin memahami siapakah Allah yang selama ini aku sembah, mengapa hanya Allah yang harus aku sembah. Kini aku sedikit lebih paham (karena masih banyak hal yang belum aku pahami), tentang kekuatan rububiyah Allah (sebagai pencipta, yang berkuasa) yang melazimkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan mengapa aku tidak boleh mempersekutukan-Nya karena jika aku melakukan kesyirikan maka ia akan menjadi dosa yang tak terampuni (jika tidak bertaubat).

Saudariku… agama Islam terlalu tinggi, canggih dan terlalu sempurna, dengan konsepnya yang sangat jelas, sehingga agama-agama lain menjadi sangat lemah untuk menjadi pembandingnya, termasuk agama Kristen yang aku anut dahulu.

***

Artikel muslimah.or.id

Akhirnya Aku Mengerti Hakekat Tauhid

Namaku Erlina, aku ingin berbagi cerita kepada saudariku muslimah, bukan untuk mengajarkan tentang fiqih atau hadits atau hal lainnya yang mungkin ukhti muslimah telah jauh lebih dulu mengetahuinya daripada aku sendiri. Karena di masa lalu, aku beragama Kristen…

Sejak kecil aku beserta kedua adikku dididik secara kristen oleh kedua orangtuaku, bahkan aku telah dibaptis ketika masih berumur 3 bulan dan saat berusia 18 tahun aku telah menjalani sidhi, yaitu pengakuan setelah seseorang dewasa tentang kepercayaan akan iman kristen di depan jemaat gereja. Aku juga selalu membaca Alkitab dan membaca buku renungan –semacam buku kumpulan khotbah– bersama keluargaku di malam hari. Seluruh keluargaku beragama Kristen dan termasuk yang cukup taat dan aktif. Bahkan dari keluarga besar ayah, seluruhnya beragama Kristen dan sangat aktif di gereja sehingga menjadi pemuka dan pengurus gereja. Sedang dari keluarga ibu, nenekku dulunya beragama Islam, namun kemudian beralih menjadi Katholik.


Sejak kecil aku adalah anak yang sangat aktif dalam kegiatan keagamaan. Tentu saja kegiatan keagamaan yang aku anut saat itu beserta keluarga besarku. Kecintaanku pada agama Kristen demikian kuat mengakar dan terus bertambah kuat seiring pertumbuhanku menjadi wanita dewasa. Sedari kecil aku sangat rajin ikut Sekolah Minggu, bahkan hampir tidak pernah absen. Aku selalu ingin mendengarkan cerita agama Kristen atau cerita dari Alkitab di Sekolah Minggu. Setiap pelajaran Sekolah Minggu kucatat dalam sebuah buku khusus. Cerita-cerita tersebut kuhafal sampai detail, sehingga setiap perayaan Paskah dan Natal aku selalu menjadi juara lomba cerdas tangkas Sekolah Minggu. Pernah suatu ketika, karena aku sering sekali menang, seorang juri memberikan tes tersendiri. Hal ini untuk memastikan bahwa aku layak mendapatkan juara pertama, apalagi saat itu aku masih lebih muda dari peserta dan juara lainnya. Ternyata aku bisa menjawab pertanyaan juri tersebut. Akhirnya aku tetap mendapatkan hadiah, namun hadiah khusus di luar juara satu sampai tiga. Kebijakan ini untuk memberikan kesempatan pada peserta lain untuk menjadi pemenang.

Ketika aku menginjak usia SMP dan SMA, aku tetap aktif dalam kegiatan persekutuan remaja dan pemuda di sekolah. Aku juga aktif di tingkat yang lebih besar yaitu kegiatan persekutuan antar siswa Kristen dari sekolah-sekolah se-kota Magelang, juga persekutuan remaja di gereja. Bahkan aku juga ditunjuk menjadi ketua persekutuan remaja di gereja. Setiap minggu aku disibukkan dengan kegiatan persekutuan, mempersiapkan acara, topik, pembicara, membuat undangan dan menyebar undangan. Aku tidak pernah bosan mengundang rekan-rekan untuk hadir. Walaupun aku tahu ada di antara mereka yang malas hadir, aku tetap memberikan undangan kepada mereka. Betapa semangatnya aku saat itu…

Setelah lulus SMA, aku meneruskan kuliah di FKG UGM. Dan seperti sebelum-sebelumnya, aku kembali aktif di kegiatan keagamaan (Kristen). Kali ini aku mengikuti kegiatan persekutuan mahasiswa di FKG dan di tingkat UGM. Aku sangat senang dan menikmati kegiatanku tersebut saat itu. Bermacam-macam aktifitas, perayaan Natal, Paskah, panitia lomba vokal grup lagu gerejawi dan lainnya aku ikuti. Aku sering mengajak teman-teman-teman satu kos untuk menyanyi bersama lagu-lagu gerejawi di kos, berdiskusi pemahaman kitab dan lainnya.

Ternyata keaktifanku dalam kegiatan keagamaan ini semakin masuk ke dalam ketika aku diajak bergabung dengan pelayanan “Para Navigator”. Pesertanya sebagian besar mahasiswa. Di sini kami belajar banyak hal tentang kekristenan, dibimbing oleh pembimbing rohani dalam satu kelompok, mengadakan diskusi pemahaman Alkitab setiap minggu dengan menggunakan buku panduan seperti kurikulum yang bertingkat dari dasar ke tingkat tinggi. Di sini kami juga diajarkan dan diminta untuk menghafal ayat-ayat Alkitab –dengan diberikan panduan berupa kartu yang berisi ayat untuk dihafalkan-, dan setiap minggu harus bertambah ayat yang kami hafal. Akhirnya aku dapat menyelesaikan paket kurikulum dan diminta membimbing anak rohani. Metode pelayanan ini biasa dikenal dengan metode sel, belajar berkelompok, kemudian berkembang dengan masing-masing anggota yang akan memiliki anak-anak lain untuk dibimbing, sehingga orang-orang yang terlibat di dalamnya akan berkembang dan bertambah banyak. Dalam pelayanan ini, terkadang kami pun diajarkan dan dianjurkan untuk berdakwah mengajak orang lain mengenal dan mengikuti ajaran Kristen.

Entah mengapa, setelah aku masuk stase (tingkatan) klinik, mulai ada beberapa teman (muslim) yang mendekati dan ingin memperkenalkan Islam kepadaku. Reaksiku? Jelas marah dan kutolak mentah-mentah. Pernah juga aku dipinjami Al-Qur’an dan diminta untuk membacanya oleh seorang teman. Sungguh aku sangat marah terhadapnya sampai-sampai aku tak ingin berbicara dengannya.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan dia –sebut saja A– yang alhamdulillah kini telah menjadi suamiku. Kalau teman-teman lain ingin memperkenalkan Islam dengan cara langsung dengan Al-Qur’an dan hal-hal lainnya yang jelas-jelas berbau Islam, maka A mengenalkan Islam dari sisi yang beraroma Kristen. Dan aku sangat antusias saat itu. Apalagi ia menyatakan bahwa jika Kristen lebih benar dari Islam, maka dia akan mengikuti agama Kristen. Kesempatan emas! Pikirku. A juga banyak bertanya tentang Bible, bahkan ia katakan telah tamat membaca Alkitab Perjanjian Baru sebanyak tiga kali! Aku pikir, orang ini benar-benar tertarik akan agama Kristen. Aku saja belum pernah membaca dari awal hingga akhir kitab tersebut secara berurutan. Aku semakin bersemangat saat itu. Banyak yang dia ketahui tentang Alkitab Kristen dan tentang Kristen. Ternyata sejak kecil ia bersekolah di sekolah Katholik dan mempelajari agama Katholik serta sejarahnya, dan ketika ia kuliah di UGM, ia juga terkadang berkunjung ke toko buku Kristen untuk membaca.

Namun, yang terjadi selanjutnya ternyata di luar dugaanku. A memang banyak tahu tentang agamaku, namun ia juga memiliki pengetahuan tentang Islam. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan olehnya dan berkaitan dengan agamaku, yang terkadang pertanyaan itu begitu mudah, namun aku sangat kesulitan menjawabnya. Diskusi-diskusi yang kami lakukan membuat kami menjadi dekat. Aku pun telah lulus kuliah dan bekerja. Begitu pula A, hanya saja dia bekerja di Jakarta. Namun, kami masih terus melanjutkan diskusi tentang agama Kristen yang telah kami lakukan sebelumnya. Ya… masih berlanjut seperti itu, pengenalan tentang agama Islam yang dilakukan dengan cara tidak langsung.

Dari diskusi-diskusi itulah ia terkadang memasukkan sentilan Islam secara tidak langsung dan tidak aku sadari (karena pertanyaan dan hal-hal yang didiskusikan sebenarnya telah jelas jawabannya di Islam). Banyak bentrok di antara kami dalam diskusi tersebut. Kadang bahkan membuat aku marah, menangis, jengkel. Namun diskusi itu terus berlanjut. Masih ada rasa penasaran, jengkel dan marah yang berbaur menjadi satu. Namun… banyak sekali pertanyaan darinya yang tidak bisa aku jawab. Akhirnya A mengusulkan agar meminta pendeta yang ahli untuk diajak diskusi bersama. Wah!! Betapa senangnya aku mendengar sarannya itu. Orang ini benar-benar bersemangat belajar Kristen. Aku sangat berharap akhirnya nanti dia bisa beragama Kristen. Rasanya bahagia jika aku berhasil membuat ia mengikuti iman Kristen.

Dengan sebab tersebut, aku mencari dan menghubungi pendeta yang terkenal, senior dan sangat berkualitas di Jogja. Sebut saja pendeta X. Aku berharap pendeta X dapat membantuku ‘memberi pelajaran’ tentang Kristen kepada A. Keluargaku pun ikut bersemangat dan sangat mendukung rencanaku ini. Saat itu, aku bersyukur bapak pendeta ini mau dan bersedia membantu rencanaku. Akhirnya, kami melakukan diskusi bertiga. Keadaannya saat itu, bukanlah sebagaimana seseorang yang ingin saling berdebat antar agama. Tidak. Kondisi saat itu, baik A maupun aku sama-sama sebagai orang yang belajar dan mencari kebenaran. Walaupun tidak ada pernyataan sebagaimana yang A lakukan bahwa jika Islam lebih benar aku akan mengikuti agamanya.
Mulailah kami berdiskusi setiap pekan di hari Sabtu. Beberapa pertanyaan yang A ajukan antara lain adalah:

Kapan dan bagaimana cara Yesus berpuasa? Mengapa orang Kristen tidak berpuasa?
Tentang penghapusan hukum Taurat (Yesus menolak membasuh tangan sebelum masuk rumah).
Benarkah kisah yang menceritakan Yesus berdoa dengan bersujud? Dan bagaimana orang Kristen berdoa saat ini? Dahulu, orang Yahudi termasuk Yesus dikhitan. Mengapa orang Kristen sekarang tidak? Pendeta menjawab, orang Kristen ada yang berkhitan tapi bukan untuk mengikuti hukum Tuhan (Taurat), tetapi untuk alasan kesehatan.

Mengapa orang Kristen tidak mengenal najis? Padahal hal najis di Taurat lebih berat daripada hukum Islam. Pendeta menjawab, dalam Kristen hal itu tidak perlu karena di dalam tubuh kita juga ada najis.

Apakah surga itu bertingkat-tingkat menurut Kristen?
Pendeta menjawab, “Tidak, dalam Kristen surga tidak bertingkat-tingkat.”
Lalu kami bertanya, “Mengapa dalam injil dikatakan ada surga rendah dan surga tinggi?”

Terdapat ramalan dalam Alkitab tentang kedatangan anak manusia ‘Ia akan berada di perut bumi tiga hari tiga malam’ seperti kejadian nabi Yunus di dalam perut ikan. Siapakah dia?

Pendeta menjawab, “Jelas ramalan untuk Yesus setelah kematian di kayu salib dan dikubur di gua.”
Akhirnya kami bertiga sama-sama menghitung. Dan berkali-kali, hasil perhitungan itu adalah dua hari dua malam atau maksimal adalah tiga hari dua malam dengan konsekuensi memasukkan hari minggu sebagai satu hari penuh, padahal minggu pagi –sebelum matahari terbit- , kubur Yesus telah kosong. Karena perhitungan tersebut tidak cocok dengan ramalan tiga hari tiga malam, pertanyaan tersebut ditunda untuk didiskusikan pekan berikutnya.

Saat kami datang pekan berikutnya, pendeta sudah memiliki jawaban, yaitu perhitungan hari orang Yahudi berbeda dengan kita.

Waktu itu kami tercengang, heran namun akhirnya tersenyum mengerti bahwa sebenarnya pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh sang pendeta. Padahal kejadian nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam gua selama tiga hari tiga malam mestinya lebih bisa menjawab ramalan tersebut.

Ah, saudariku… sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang kami diskusikan saat itu. Kiranya ini cukup untuk menggambarkan diskusi yang terjadi saat itu. Pertanyaan-pertanyaan kami bukanlah pertanyaan yang berat yang berkaitan dengan akidah. Bukan tentang trinitas ataupun ketuhanan Yesus. Namun, itupun banyak yang tidak terjawab. Dan dalam diskusi ini, A tidak pernah mendebat dengan dalil-dalil Islam, Al-Qur’an dan hadits. Sehingga memang terkesan bahwa kami berdua sedang berguru kepada pendeta tersebut.

Kami tidak pernah berdebat, menyalahkan atau mempermalukan beliau. Kami tetap hormat, dan pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan berkesan layaknya konfirmasi, “Apakah ini benar”, “Mengapa seperti ini”, dan semacamnya, kemudian menilai jawaban yang pendeta tersebut berikan. Dan jika kami tahu sebenarnya beliau tidak dapat menjawab pertanyaan kami, dan tampak jawabannya dipaksakan, tidak logis (seperti tentang ramalan tiga hari tiga malam), maka kami hanya tersenyum dan tidak memperpanjang pembahasan hal tersebut. Saat itu, pendeta tersebut menganjurkan agar kami membaca buku karangan seorang Pastor yang berjudul Gelar-Gelar Yesus. Namun, aku malah mendapati, si pengarang justru mengatakan bahwa di Alkitab tidak ada yang secara langsung menyebutkan bahwa Yesus itu Tuhan dan dia tidak pernah menyatakan diri sebagai Tuhan. Sehingga anjuran ini justru menjadi semakin menambah pertanyaanku dan memperbesar keraguanku akan iman Kristen.

Bersambung…

***

Artikel muslimah.or.id

TIPS SALAFUS SHALEH DALAM MEMILIH PASANGAN HIDUP Keluarga Sakinah

Keluarga Sakinah
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal

Disebutkan dalam kitab “tahdzibul kamaal” karya Al-Hafizh Al-Mizzi:

Berkata Yahya bin Yahya An-Naisaburi: suatu ketika aku berada di sisi Sufyan bin Uyainah, tiba-tiba ada seorang lelaki datang lalu berkata: Wahai Abu Muhammad! Aku mengeluhkan kepadamu perihal fulanah –isterinya, saya orang yang paling hina dan rendah menurutnya!


Maka Sufyan diam beberapa saat, lalu mengangkat kepalanya dan berkata: jangan- jangan engkau sangat berharap kepadanya sehingga menjadikannya semakin merasa tinggi?

Ia menjawab: benar demikian wahai Abu Muhammad,!

Berkata Sufyan:

من ذهب إلى العز ابتلي بالذل، ومن ذهب إلى المال ابتلي بالفقر، ومن ذهب إلى الدين يجمع الله له العز والمال مع الدين

“Siapa yang mencari kemuliaan (dengan nasab keturunan), maka dia akan ditimpa musibah kehinaan, dan siapa yang mencari harta, maka dia akan ditimpa kemiskinan, dan siapa yang mencari agama, maka Allah mengumpulkan untuknya kemuliaan, harta, sekaligus agama.”

Lalu Beliau mulai bercerita:

“Kami empat bersaudara: Muhammad, Imran, Ibrahim dan saya sendiri. Muhammad yang tertua diantara kami sedangkan Imran adalah yang bungsu, aku pertengahan diantara mereka.Tatkala Muhammad ingin menikah, dia ingin mencari wanita berketurunan bangsawan, maka diapun menikahi wanita yang lebih mulia nasab keturunannya dibanding dirinya, maka Allah menimpakan musibah kehinaan kepadanya. Adapun Imran menginginkan harta, maka dia menikahi wanita yang lebih kaya darinya, maka Allah menimpakan kemiskinan kepadanya, dimana keluarga wanita itu mengambil semua miliknya dan tidak menyisakan sama sekali untuknya!. Akupun memperhatikan keadaan keduanya, lalu datanglah Ma’mar bin Rasyid kepada kami, maka akupun meminta pendapatnya sambil aku menceritakan kisah kedua saudaraku. Maka Beliaupun mengingatkan aku hadits

Yahya bin Ja’dah dan hadits Aisyah. Adapun hadits Yahya bin Ja’dah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

تنكح المرأة على أربع: دينها، وحسبها، ومالها، وجمالها، فعليك بذات الدين تربت يداك ".

“Wanita dinikahi karena empat hal: agamanya,keturunannya, hartanya dan kecantikannya. Pilihlah wanita yang memiliki agama, (jika tidak) maka celaka engkau.”

Dan hadits Aisyah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

" أعظم النساء بركة أيسرهن مؤنة

“wanita yang paling banyak berkahnya adalah yang paling mudah maharnya.”

Maka akupun memilih untuk diriku waniita yang memiliki agama dan mahar yang ringan sebagai wujud mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, maka Allah Ta’ala menganugerahkan kepadaku kemuliaan, harta sekaligus agama.”

(sumber: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=376334)