Senin, 31 Oktober 2011

Sepenggal kisah wanita cantik yg dihalangi untuk menikah,Ambillah ibrohnya!

Sepenggal cerita dibawah ini, semoga mewakili dari sekian banyak orang yang mengalaminya.
Sebuah kisah dari pertimbangan orang tua yang salah yang berujung pada kesengsaraan anaknya. Sehingga kehilangan kesempatan untuk menikah dengan laki-laki sholeh pilihannya.
Ada seorang gadis belia yang sangat cantik, sehingga banyak pemuda yang tergila-gila padanya. Akan tetapi setiap ada orang yang mau melamarnya, orang tuanya terlalu banyak harapan atau bahkan meremehkan, sehingga sang gadis semakin angkuh dan merasa tidak ada laki-laki yang pantas untuk menjadi pendamping hidupnya. Keluarganya memiliki harapan yang berlebihan dan sang gadis pun selalu pilih-pilih. Mereka tidak sadar bahwa hal itu menghambat setiap orang yang hendak melamarnya.

Tanpa terasa waktu terus berjalan sangat cepat. Lambat laun putrinya menjadi perawan tua. Di lain pihak, para pemuda tidak berani mendekat.
Tahun demi tahun berlalu. umur terus bertambah. Akan tetapi lelaki yang diharapkan tak kunjung datang. Maka, orang tuanya pun menjadi sasaran kekecewaannya karena dianggap tidak memberikan pertimbangan dan arahan yang baik. Akhirnya dia terpaksa menikah dengan laki-laki yang sudah lanjut usia yang bertubuh lemah. Merekapun tidak diberi keturunan.


Belum pernahkan kalian mendengar seorang anak perempuan yang melaknat ayah kandungnya sendiri, dikarenakan ayahnya melarangnya untuk menikah, memiliki keturunan yang baik – baik dan menjaga kemaluannya dengan menikah. Berbagai alasan dikemukakan sang ayah, mulai dari alasan fisik sang laki-laki yang ingin menikahi, alasan status sosial dan alasan lainnya. Sampai akhirnya anak perempuannya tersebut semakin tua dan tidak menikah.
Menjelang ajalnya, sang ayah meminta anak perempuannya untuk memaafkannya, namun sang  anak mengatakan “Aku tidak mau memaafkan ayah yang telah membuatku menderita dan menyesal. Ayah yang telah menghalangiku dari hakku dalam hidup ini. Untuk apa aku menggantungkan segudang ijazah dan sertifikat di dinding rumah yang tidak akan pernah dilalui seorang bocah pun? Untuk apa ijazah dan gelar menemani tidurku dipembaringan, sementara aku tidak menyusui seorang bayipun dan tidak mendekapnya dipelukkanku. Aku tidak bisa berbagi cerita kepada laki-laki yang aku cintai dan sayangi, yang mencintai dan menyayangiku dan cintanya tidak seperti cinta ayah. Pergilah dan sampai bertemu pada hari kiamat nanti. Dihadapan Dzat Yang Maha Adil dan tidak pernah mendzalimi. Dzat yang memutus segala perkara. Dan Dzat yang tidak merampas hak seorangpun! Aku tidak akan pernah rela kepada ayah hingga tiba masa pertemuaan dihadapan Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.”
Sebuah akhir yang memilukan.
Seorang anak perempuan yang dihalangi ayahnya untuk menikah karena ayahnya menolak ta’addud (poligami), setiap kali datang kepadanya laki-laki yang ingin meminang putrinya, ia menolaknya, sampai putrinya berumur 40 tahun. Kemudian, putrinya ditimpa penyakit kejiwaan akibat sikapnya itu dan penyakitnya kian bertambah parah sehingga dirawat dirumah sakit. Ketika menjelang wafat, ayahnya mengunjunginya. Dia berkata kepada ayahnya, “ Mendekatlah kepadaku, mendekatlah,” ia berkata lagi, “kemarilah lebih mendekat.” Ayahnya mendekat. Kemudian, ia berkata kepada ayahnya, “katakan amin”, ayahnya berkata “amin”, Kemudian untuk kedua kalinya ia berkata, “katakan amin”, ayahnya berkata “amin”, Lalu ia berkata kepada ayahnya, “semoga Allah menghalangimu dari surga sebagaimana kamu telah menghalangiku dari menikah dan mendapatkan anak.” Setalah itu ia wafat
Tak bisa ku bayangkan kesedihan dan penderitaan mereka, yang membuat hati ini pilu jika  mendengar, melihat kisah dan kehidupan mereka.
Tak tahu apa yang harus ku ketik pada kertas ini kecuali sebuah ayat yang semoga meyadarkan kita semua terutama para wali dari para wanita yang berada dibawah kewaliannya.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“ Apabila kamu mentalak (mencerai) isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al Baqarah : 232)
Sebuah ayat yang menjelaskan kepada kita semua, tentang tidak bolehnya seorang wali menghalang – halangi untuk menikahkan orang yang berada dibawah kewaliannya, jika mereka telah saling ridho tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat islam. Dari mulai alasan calon suaminya belum mapan, atau alasan agar putrinya menyelesaikan studinya dulu atau meniti karirnya dulu, atau karena alasan adat dan uang atau karena alasan mahar sampai pada alasan tidak mau putrinya dipoligami.
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di Rahimahullah : “ Pembicaraan ayat ini kepada para waIi dari perempuan yang dicerai dengan perceraian yang bukan perceraian yang ketiga apabila telah habis masa iddah. Dan mantan suaminya menginginkan untuk menikahinya kembali dan perempuannya ridho dengan hal itu. Maka tidak boleh walinya melarang untuk menikahkannya karena marah atas laki-laki tersebut, atau tidak suka dengan perbuatannya karena perceraian yang pertama” (Taisirul Karimir Rahman, pada ayat ini)

Berkata Ibnu Katsier Rahimahullah:  ( ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ : Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian ) Maksudnya inilah yang Kami (Allah) larang, yaitu tindakan para wali yang menghalangi pernikahan wanita dengan calon suaminya, jika masing-masing dari keduanya sudah saling meridhai dengan cara yang ma’ruf, hendaknya ditaati, diperhatikan dan diikuti” (Tafsir Ibnu Katsier pada ayat ini)

Ku hanya ingin mengatakan kepada para wali bertakwalah kepada Allah, takutlah kalian kepada Allah atas perbuatan kalian dari menghalangi untuk menikahkan wanita – wanita yang berada dibawah kewalian kalian tanpa alasan yang dibenarkan dalam agama ini. Karena hal itu adalah sebuah tindakan kedzaliman atas mereka.
Apakah kalian rela mempertaruhkan kebahagian putri-putri kalian hanya  karena uang,  studi disekolah – sekolah ikhtilat, karir,  adat atau perkara lainnya sehingga menghalangi putri-putri kalian menikah dengan laki-laki sholeh pilihannya.
(Diambil dr tulisan: Aku dan sebuah realita dari wanita yang dihalangi untuk menikah
Oleh : Abu Ibrahim Abdullah, http://nikahmudayuk.wordpress.com/2010/09/20/aku-dan-sebuah-realita-wanita-yang-dihalangi-untuk-menikah/#more-204)

Bagaimana Hukum Megkritik Pemerintah di Hadapan Publik

Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya:
Pertanyaan: apakah termasuk manhaj salaf mengeritik penguasa diatas mimbar-mimbar? Dan bagaimana manhaj salaf dalam menasehati penguasa?
Beliau menjawab:
 ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة وذكر ذلك على المنابر لأن ذلك يفضي إلى الفوضى وعدم السمع والطاعة في المعروف ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع ,ولكن الطريقة المتبعة عند السلف النصيحة فيما بينهم بين السلطان, والكتابة إليه أو الاتصال بالعلماء الذي يتصلون به حتى يوجه إلى الخير وإنكار المنكر يكون من دون ذكر الفاعل ويكفي إنكار المعاصي والتحذير منها من غير ذكر أن فلانا يفعلها لا حاكم ولا غير حاكم.
ولما وقعت الفتنة في عهد عثمان رضي الله عنه قال بعض الناس لأسامة بن زيد رضي الله عنه : ألا تنكر على عثمان؟! قال: أنكر عليه عند الناس؟! لكن أنكر عليه بيني وبينه,ولا أفتح باب شر على الناس .
ولما فتحوا الشر في زمن عثمان رضي الله عنه وأنكروا على عثمان جهرة تمت الفتنة والقتال والفساد الذي لا يزال الناس في آثاره إلى اليوم, حتى حصلت الفتنة بين علي ومعاوية رضي الله عنه وقتل عثمان وعلي رضي الله عنه بأسباب ذلك, وقتل جم كثير من الصحابة رضي الله عنهم وغيرهم بأسباب الإنكار العلني وذكر العيوب علنا حتى أبغض الناس ولي أمرهم وحتى قتلوه, نسأل الله العافية.
Bukan termasuk manhaj salaf menyebarkan aib para penguasa dan menyebutkannya diatas mimbar-mimbar,sebab yang demikian akan menyebabkan kekacauan, dan penguasa tidak lagi didengarkan dan ditaati dalam perkara yang ma’ruf, dan menyebabkan mereka sibuk dalam perkara yang memudaratkan dan tidak mendatangkan manfaat. Namun metode yang diikuti dari kalangan salaf adalah adanya nasehat antara mereka dengan penguasanya, menulis surat kepadanya, atau menghubungi para alim ulama yang memiliki akses kepadanya sehingga dapat diarahkan kepada kebaikan.
Mengingkari kemungkaran dapat dilakukan dengan tidak menyebutkan pelakunya,dan cukup dengan cara mengingkari kemaksiatan dan memberi peringatan darinya, tanpa menyebutkan bahwa si fulan yang melakukannya,apakah dia seorang penguasa atau bukan.
Tatkala muncul fitnah dizaman Utsman Radiyallohu ‘anhu, sebagian orang bertanya kepada Usamah bin Zaid Radiyallohu ‘anhu : mengapa Engkau tidak mengingkari Utsman ?! Beliau menjawab: apakah aku mengingkarinya dihadapan manusia?! Namun aku mengingkarinya antara aku dan dia, dan aku tidak akan membuka pintu kejahatan yang menimpa manusia.” (HR.Muslim:2898)
Tatkala mereka membuka pintu fitnah dizaman Utsman Radiyallohu ‘anhu, dan mereka mengingkari Utsman Radiyallohu ‘anhu secara terang-terangan, maka fitnah dan peperangan pun berkobar, yang pengaruhnya terhadap manusia masih terasa hingga hari ini, sehingga terjadi fitnah antara Ali Radiyallohu ‘anhu dengan Muawiyah Radiyallohu ‘anhu, Utsman Radiyallohu ‘anhu dan Ali Radiyallohu ‘anhu terbunuh dengan sebab tersebut, dan terbunuh pula para sahabat -radhiallahu anhum- dalam jumlah yang banyak, dan yang lainnya yang merupakan akibat dari bentuk pengingkaran secara terbuka dan menyebutkan aib mereka secara terang-terangan, sehingga sebagian manusia benci kepada penguasanya dan bahkan sampai membunuhnya, semoga Allah senantiasa menyelamatkan kita.
(dari kitab: alfatawa al-muhimmah fi yabshir al-ummah,Jamal bin Furaihan Al-Haritsi,hal:17-18)
Diterjemahkan Oleh : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
sumber: http://www.tsabat.com

Adab-Adab Lamaran (Penting dibaca terutama bagi yg mau proses lamaran!!!!)

Adab-adab Melamar
Secara umum, kegiatan pelamaran ini dilakukan oleh pihak lelaki kepada pihak wanita, walaupun boleh bagi wali wanita untuk menawarkan walinya kepada seorang lelaki yang dianggap pantas dan baik agamanya. Hal ini sebagaimana dalam kejadian yang terjadi antara tiga manusia terbaik umat ini setelah nabinya, ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- bercerita:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ حِيْنَ تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عُمَرَ مِنْ خُنَيْسِ بْنِ حُذَافَةَ السَّهْمِي -وَكَانَ مْنْ أَصْحَابِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَوَفَّى بِالْمَدِيْنَةِ-. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: “أَتَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَعَرَضْتُ عَلِيْهِ حَفْصَةَ، فَقَالَ: “سَأَنْظُرُ فِي أَمْرِي”. فَلَبِثْتُ لَيَالِيَ ثُمَّ لَقِيَنِي، فَقَالَ: “قَدْ بَدَا لِي أَنْ لاَ أَتَزَوَّجَ يَوْمِي هَذَا”. فَلَقِيْتُ أَبَا بَكْرٍ الصِدِّيْقَ فَقُلْتُ: “إِنْ شِئْتَ زَوَّجْتُكَ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ”, فَصَمِتَ أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمْ يَرْجِعْ إِلَيَّ شَيْئًا, وَكُنْتُ أَوْجَدَ عَلَيْهِ مِنْ عَلَى عُثْمَانَ، فَلَبِثْتُ لَيَالِي, فَخَطَبَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْكَحْتُهَا إِيَّاهُ
“Tatkala Hafshah bintu ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahmy -beliau termasuk sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang wafat di Medinah-, maka ‘Umar ibnul Khoththob berkata, “Saya mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan lalu saya menawarkan Hafshah kepadanya, maka dia menjawab, “Saya pertimbangkan dulu”, maka sayapun menunggu hingga beberapa malam lalu dia mendatangiku dan berkata, “Telah saya putuskan, saya tidak mau dulu menikah pada saat-saat ini”. Kemudian saya menemui Abu Bakr dan berkata, “Jika engkau mau saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar”, maka Abu Bakr diam dan tidak membalas tawaranku, dan sikapnya itu lebih berpengaruh padaku daripada penolakan ‘Utsman. Maka sayapun menunggu selama beberapa malam dan akhirnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melamarnya (hafshah) maka sayapun menikahkannya dengan beliau”. (HR. Al-Bukhari: 9/481-Al-Fath)
Imam Al-Bukhary memberikan judul bab untuk kisah ini dengan ucapan beliau, Bab: (Bolehnya) seseorang menawarkan putri atau saudara perempuannya (untuk dinikahi) kepada orang-orang yang baik”.
Dan boleh juga bagi seorang wanita untuk menawarkan dirinya kepada lelaki yang sholeh dan memiliki kemuliaan agar lelaki tersebut mendatangi orang tuanya (wanita tersebut) untuk melamarnya. Imam Al-Bukhary -rahimahullah- berkata, “Bab: Seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholeh”, lalu beliau membawakan hadits Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:
جَائَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْرَضُ عَلَيْهِ نَفْسَهَا
“Seorang wanita datang kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan  menawarkan dirinya kepada beliau (untuk dinikahi).” (HR. Al-Bukhari: 2/246)
Sisi pendalilan dari kisah ini adalah adanya taqrir (persetujuan) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap perbuatan wanita ini.

Peringatan:
Hendaknya hal ini (Yakni seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholih) tidak dilakukan kecuali oleh seorang wanita yang merasa aman dari fitnah demikian pula pihak lelakinya, sebagaimana amannya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan shahabiyah di atas dari fitnah. Dan di zaman yang penuh kerusakan seperti ini dimanakah kita bisa mendapatkan lelaki dan wanita yang merasa aman dari fitnah terhadap lawan jenisnya?! Karenanya, walaupun asal hal ini dibolehkan, akan tetapi di zaman ini hendaknya seorang wanita meninggalkan perbuatan seperti ini karena tidak jarang -bahkan inilah kenyataannya- kedua belah pihak terjatuh ke dalam fitnah yang besar tatkala seorang wanita menawarkan dirinya kepada lelaki yang dianggap sholih.

Fitnahnya bisa terjadi dari beberapa sisi:
1.    Membuka pintu-pintu percakapan yang tidak bermanfaat -bahkan mengarah kepada kefajiran- yang berkepanjangan dan berlanjut antara seorang wanita dan lelaki yang bukan mahramnya, baik secara langsung, lewat telepon, sms, email dan selainnya. Di sinilah awal kerusakan akan muncul.
2.    Seorang wanita akan merendahkan dan melembutkan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki.
3.    Ketika penawaran seorang wanita diterima oleh lelaki tapi ditolak oleh wali dari lelaki tersebut maka biasanya mereka tetap melakukan komunikasi karena sudah adanya keterikatan hati antara keduanya dengan adanya penawaran tersebut, na’udzu billahi min dzalik.

Berikut penyebutan adab-adab dalam pelamaran yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak:
1.    Disunnahkan nazhor (memandang/melihat) kepada calon pinangan.
Yakni melihat kepada apa-apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya, atau sebaliknya ketika dia melihat calonnya dan mendapati ada sesuatu yang tidak dia senangi darinya maka dia boleh untuk membatalkan pelamarannya. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya seseorang yang mau menikahi seorang wanita untuk memandang kepadanya”. (Al-Mughny: 9/489)
Berikut beberapa dalil yang menunjukkan disunnahkannya bagi kedua belah pihak untuk saling melihat sebelum meneruskan pelamaran:
1.    Hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ, فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika kamu mampu untuk melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya maka hendaknya dia lakukan”. Jabir berkata, “Maka sayapun melamar seorang wanita lalu saya melihatnya dengan sembunyi-sembunyi (tanpa sepengetahuannya) sampai akhirnya saya melihat darinya apa yang membuat saya tertarik untuk menikahinya maka sayapun menikahinya”. (HR. Abu Daud (2082) dengan sanad yang hasan)
2.    Hadits Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiallahu ‘anhu-.
Beliau berkata, “Saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu saya menceritakan kepada beliau perihal seorang wanita yang saya lamar, maka beliau bersabda:
اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا
“Pergilah kamu (kepadanya) dan lihatlah dirinya, karena hal itu akan membuat kasih sayang di antara kalian akan langgeng”. (HR. At-Tirmidzi no. 1087, An-Nasa`i: 6/69, dan Ibnu Majah no. 1866. Potongan pertama dari hadits dikuatkan dalam riwayat Muslim: 2/1040 dari hadits Abu Hurairah.)
Hadits ini menunjukkan bahwa pembolehan untuk nazhor bukan hanya terkhusus bagi kaum lelaki tapi juga dibolehkan bagi seorang wanita yang akan dilamar. Karena kasih sayang itu muncul dari kedua belah pihak sehingga pembolehan di sini juga berlaku bagi kedua belah pihak.
3.    Hadits Abu Humaid -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً, فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ, وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihat kepadanya jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya, walaupun wanita tersebut tidak mengetahui (dirinya sedang dilihat)”. (HR. Ahmad: 5/424 dengan sanad yang shohih)

Beberapa perkara penting yang berkaitan dengan nazhor:
1. Syarat-syarat dibolehkannya nazhor:
a. Dia sudah memiliki niat yang kuat untuk menikah dan tidak ada yang menghalanginya untuk menikah kecuali tinggal mencari calon istri. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid di atas, yang mana Nabi bersabda, “jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya”.

b.  Batasan terakhir dari bolehnya memandang adalah sampai dia melihat sesuatu yang membuat dia tertarik untuk menikahinya. Maka kapan dia telah melihat hal tersebut sehingga niatnya sudah bulat untuk menikahinya atau sebaliknya dia tidak melihat sesuatu yang membuat dirinya tertarik sehingga berniat untuk membatalkan pelamarannya, maka seketika itu juga dia wajib untuk menundukkan pandangannya dan tidak lagi melihat kepada wanita tersebut. Karena hal ini (melihat kepada lamaran) hanyalah rukhshoh (keringanan) yang syari’at berikan bagi orang yang mau melamar, maka jika sudah tetap dia akan menikahinya atau sebaliknya dia akan membatalkan pelamarannya maka hukum melihat kepada wanita yang bukan mahram kembali kepada hukum asal, yaitu haram. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّأَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَز
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur: 30-31)
Imam Ibnul Qoththon Al-Fasy berkata, “Jika sang pelamar wanita (pihak lelaki) telah mengetahui bahwa wanita tersebut tidak mau menikah dengannya dan bahwa wali wanita tersebut tidak menerima lamarannya, maka tidak boleh ketika itu dia (melanjutkan) memandang, walaupun dia tadi telah melamar. Karena dia hanya diperbolehkan untuk memandangnya sebagai sebab dari berlangsungnya pernikahan, maka jika dia sudah yakin akan penolakannya (wanita atau walinya) maka kembalilah (hukum) memandang (wanita yang bukan mahram) kepada hukum asal”. (An-Nazhor fii Ahkamin Nazhor hal. 391)

c.  Tentunya nazhor ini tidak boleh dilakukan dalam keadaan berkhalwat (berdua-duaan), akan tetapi sang wanita wajib ditemani oleh mahramnya yang laki-laki. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarang dari khalwat, seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Umar radhiallahu anhu:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah setan”. (HR. At-Tirmidzi no. 2165. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah: 2/64 dari Jabir bin Samurah dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 430)

2.   Batasan tubuh wanita yang boleh dilihat.
Imam Ibnu Qudamah -radhiallahu ‘anhu- berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya melihat kepada wajahnya”. (Al-Mughny: 9/490)
Adapun selain wajah maka para ulama berselisih, dan yang paling kuat adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad -dalam satu riwayat- bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk melihat aurat wanita yang biasa nampak darinya ketika wanita tersebut bersama mahramnya, seperti: kepala, leher, tangan, betis, dan yang semisalnya, inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (9/490).
Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, dimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak membatasi bagian tubuh tertentu yang boleh dilihat, akan tetapi beliau bersabda, “melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya”.
Dan inipula yang dipahami dan diamalkan oleh 2 sahabat besar ‘Umar ibnul khoththob dan ‘Ali bin Abi Tholib -radhiallahu ‘anhuma-. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/163) dan Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (521) bahwa ‘Umar pernah melamar putri Ali, maka ‘Ali berkata, “Sesungguhnya dia masih kecil”, maka ada yang mengatakan kepada Umar bahwa ‘Ali tidak menginginkan dengan ucapannya kecuali untuk menahan putrinya. Maka ‘Ali berkata, “Saya akan menyuruh anak saya mendatangimu, jika dia ridho maka dia adalah istrimu”. Maka diapun mengutus putrinya lalu ‘Umar mendatanginya lalu menyingkap betisnya, maka putri dari ‘Ali berkata, “Turunkan, seandainya kamu bukan amirul mu`minin (pemimpin kaum mu`minin) maka saya akan menampar lehermu”.

3.   Hukum nazhor tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan.
Yang merupakan pendapat Imam Empat kecuali Imam Malik bahwasanya boleh melakukan nazhor kepada calon pinangan dengan seizin atau tanpa izin dari wanita tersebut, hal ini dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’: 16/138. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Tidak mengapa melihat wanita tersebut dengan izinnya atau tanpa izinnya, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk melihat dan memutlakkannya”. (Al-Mughny: 9/489)

2.    Berpenampilan sederhana dalam melamar.
Tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri) dengan memakai pakaian yang sangat indah serta parfum yang sangat harum. Hal ini karena kesediaan seorang wanita untuk dinazhor, sama sekali bukanlah tanda akan keridhoan dari kedua belah pihak, dan sangat mungkin sang wanita akan terfitnah dengan penampilan lelaki tersebut sehingga menimbulkan perkara-perkara yang tidak terpuji, khususnya jika pelamarannya ditolak oleh salah satu pihak.
Dan yang merupakan tuntunan salaf dalam hal ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Thowus bahwa ayahnya berkata kepadanya mengenai wanita yang hendak dinikahi oleh anaknya, “Pergilah engkau melihatnya”. ‘Abdullah berkata, “Maka sayapun memakai pakaian (yang indah), lalu memakai minyak dan bergaya”, maka tatkala Thowus melihat anaknya berpenampilan seperti itu, dia berkata, “Duduklah kamu”, beliau benci melihat anaknya melakukan nazhor dengan penampilan seperti itu. (Riwayat ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf: 6/157 dengan sanad yang shohih)

3.    Boleh bagi wanita yang akan dinazhor untuk berhias sekedarnya.
Dari Subai’ah Al-Aslamiyah -radhiallahu ‘anha- bahwa dulunya beliau adalah istri dari Sa’ad bin Khaulah lalu suaminya wafat (suami beliau wafat sedangkan beliau dalam keadaan hamil, sebagaimana yang nampak dari kisah) dalam haji wada’ dan beliau (suaminya) adalah badry (pasukan perang badar). Dan beliau melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya suami beliau. Maka setelah itu, beliau ditemui oleh Abus Sanabil bin Ba’kak tatkala beliau sudah selesai nifas dalam keadaan beliau (Subai’ah) memakai celak mata -dalam sebagian riwayat, maka salah seorang dari kerabat suamiku menemuiku dalam keadaan saya sudah memakai khidhob dan berhias”-. Maka dia (Abus Sanabil) berkata kepadanya, “Kuasailah dirimu -atau ucapan semisalnya- mungkin kamu sudah mau menikah lagi, sesungguhnya waktunya adalah 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya suamimu. Beliau (Subai’ah) berkata, “Maka saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan saya ceritakan kepada beliau apa yang dikatakan oleh Abus Sanabil bin Ba’kak, maka beliau bersabda:
قَدْ حَلَلْتِ حِيْنَ وَضَعْتِ حَمْلَكِ
“Engkau telah halal (untuk menikah) ketika engkau melahirkan”. (HR. Ahmad: 6/432 dengan sanad yang shohih.)
‘Amr bin ‘Abdil Mun’im berkata menjelaskan batasan dari berhias, “Telah berlalu dalam hadits Subai’ah penjelasan mengenai sifat berhias bahwa hiasannya tidak boleh melewati dari sekedar celak mata dan khidhob. Maka tidak boleh bagi seorang wanita berhias untuk pelamarnya melebihi hal tersebut dengan menggunakan make up (arab: masahiqul mikyaj) atau memakai parfum dan wewangian atau yang sejenisnya berupa hiasan yang besar (arab: mugollazhoh). Akan tetapi dia hanya terbatas menggunakan celak mata dan khidhob saja, karena perhiasan selain keduanya sangat terlarang dinampakkan di depan orang yang bukan mahramnya”. (Adabul Khitbah waz Zifaf hal. 23)

4.    Beristikhoroh.
Jika proses nazhor sudah selesai, maka disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan sholat istikhoroh, berharap taufik dan petunjuk dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Hal ini ditunjukkan dalam kisah pengutusan Zaid bin Haritsah oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk melamar Zainab -radhiallahu ‘anha-, maka Zainab berkata:
مَا أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتَّى أَوَامِرِ رَبِّي
“Saya tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali dengan perintah Tuhanku”.
Maka beliaupun (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di mesjidnya”. (HR. Muslim: 2/1048 dari Anas bin Malik)
Imam An-Nasa`iy memberikan judul bab untuk hadits ini dalam Sunannya (6/79), “Sholatnya seorang wanita jika dia dilamar dan dia beristikhoroh kepada Tuhannya”.
Adapun kaifiat dan do’a sholat istikhoroh, maka hal ini disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِِ الْفَرِيْضَةِ، ثُمَّ لَيَقُلْ: ((اَلَّلهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدْرُ وَلاَ أَقْدِرُ, وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. الَلَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلَ أَمْرِيْ وَآجِلَهُ- فَاقْدُرْهُ لِي، وَيَسِّرْهُ لِي, ثُمَّ بَارِكْ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلَ أَمْرِيْ وَآجِلَهُ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي، وَاصْرِفْنِي عَنْهُ, وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرِ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ.
“Jika salah seorang di antara kalian sudah berniat melakukan suatu perkara, maka hendaknya dia melakukan sholat 2 raka’at yang bukan sholat wajib, setelah sholat hendaknya dia bedo’a, [“Ya Allah, saya beristikhoroh kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan saya meminta kemampuan kepad-Mu dengan kemampuan-Mu, dan saya meminta keutamaan-Mu yang Maha Agung. Karena sesungguhnya Engkaulah yang menakdirkan dan saya tidak menakdirkan, Engkau Maha Mengetahui sedang saya tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku untuk agamaku, untuk kehidupanku, dan untuk akhir perkaraku -atau beliau berkata, “untuk perkaraku cepat atau lambat”- maka takdirkanlah hal itu untukku, permudahlah untukku, kemudian berkahilah aku di dalamnya”. Jabir berkata, “Kemudian dia menyebutkan keperluannya”. (HR. Al-Bukhari: 3/58-Al-Fath)

5.    Sederhana dalam mahar.
Jika proses nazhor sudah selesai dan kedua belah pihak telah saling meridhoi, maka berarti sang wali telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Kemudian setelah itu, hendaknya wali tersebut berbuat baik kepada wanita yang dia perwalikan dengan cara mempermudah proses pernikahan dan tidak memasang target mahar yang tinggi, karena sesungguhnya keberkahan seorang wanita terletak pada murahnya maharnya.
Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sangat membenci dan menegur keras seorang wali yang menetapkan mahar terlalu tinggi, dalam sabda beliau kepada seorang lelaki yang akan menikahi seprang wanita Anshor, dan dia mengabarkan kepada Nabi bahwa maharnya 4 ‘awaq. Maka beliau bersabda:
عَلَى أَرْبَعَةٍ أَوَاقٍ؟! كَأَنَّمَا تَنْحِتُوْنَ الْفِضَّةَ مِنْ عُرْضِ هَذَا الْجَبَلِ
“Engkau menikahinya dengan mahar 4 ‘awaq?! Seakan-akan kalian memahat (baca: mengambil) perak dari gunung ini.” (HR. Muslim: 2/1040 dari Abu Hurairah)
Kemarahan beliau ini wajar, karena mahar yang tinggi akan sangat menyulitkan bagi pihak lelaki, karena seorang lelaki itu menikah dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman bukan bertujuan agar dia menanggung utang yang banyak. Dan sungguh telah ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala beliau menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau dengan mahar hafalan dan pengajaran Al-Qur`an dari lelaki tersebut. (Hal ini disebutkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa`idy riwayat Al-Bukhari: 3/369 dan Muslim: 2/1041)
sUMBER: http://al-atsariyyah.com/adab-adab-melamar.html#more-3184

Minggu, 30 Oktober 2011

Siapakah Suamimu di Surga?

Saudariku muslimah, tahukah kamu siapa suamimu di surga kelak?(1) Artikel di bawah ini akan menjawab pertanyaan anti. Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan, tapi kepastian (atau minimal suatu prediksi yang insya Allah sangat akurat), yang bersumber dari wahyu dan komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:
Perlu diketahui bahwa keadaan wanita di dunia, tidak lepas dari enam keadaan:
1. Dia meninggal sebelum menikah.
2. Dia meninggal setelah ditalak suaminya dan dia belum sempat menikah lagi sampai meninggal.
3. Dia sudah menikah, hanya saja suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam surga, wal’iyadzu billah.
4. Dia meninggal setelah menikah baik suaminya menikah lagi sepeninggalnya maupun tidak (yakni jika dia meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya).
5. Suaminya meninggal terlebih dahulu, kemudian dia tidak menikah lagi sampai meninggal.
6. Suaminya meninggal terlebih dahulu, lalu dia menikah lagi setelahnya.
Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
 Perlu diketahui bahwa keadaan laki-laki di dunia, juga sama dengan keadaan wanita di dunia: Di antara mereka ada yang meninggal sebelum menikah, di antara mereka ada yang mentalak istrinya kemudian meninggal dan belum sempat menikah lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya tidak mengikutinya masuk ke dalam surga. Maka, wanita pada keadaan pertama, kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki dari anak Adam yang juga masuk ke dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga keadaan tadi. Yakni laki-laki yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang berpisah dengan istrinya lalu meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki yang masuk surga tapi istrinya tidak masuk surga.
Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits riwayat Muslim no. 2834 dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:
مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ
“Tidak ada seorangpun bujangan dalam surga”.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya terambil dari keumuman firman Allah -Ta’ala-:
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ
“Di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)
Dan juga dari firman Allah -Ta’ala-:
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)
Seorang wanita, jika dia termasuk ke dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah (di dunia) atau suaminya tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia masuk ke dalam surga maka di sana ada laki-laki penghuni surga yang belum menikah (di dunia). Mereka -maksud saya adalah laki-laki yang belum menikah (di dunia)-, mereka mempunyai istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga mempunyai istri-istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula yang kita katakan perihal wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan tidak bersuami atau dia sudah bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak masuk ke dalam surga. Dia (wanita tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas”.
Dan beliau juga berkata pada no. 178, “Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika di dunia, maka Allah -Ta’ala- akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia senangi di surga. Maka, kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum lelaki, tapi bersifat umum untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah pernikahan”.
 Adapun wanita pada keadaan keempat dan kelima, maka dia akan menjadi istri dari suaminya di dunia.
 Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.
Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا
“Wanita itu milik suaminya yang paling terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari sahabat Abu Darda` dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah: 3/275/1281)
Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:
إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تُزَوِّجِي بَعْدِي. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا. فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِي الْجَنَّةِ
“Jika kamu mau menjadi istriku di surga, maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku, karena wanita di surga milik suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya, Allah mengharamkan para istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga”. (HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )
Faidah:
Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:
وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا
“Dan gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya (di dunia)”.
Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?
Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia (2). Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (Ibrahim: 4
Bumi (yang kedua) itu juga bumi (yang pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian pula langit (yang kedua) itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang sudah pecah”. Jawaban beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah karya Sulaiman bin Sholih Al-Khurosy.
___________
(1) Karenanya sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.
(2) Maksudnya, suaminya sama tapi sifatnya menjadi lebih baik dibandingkan ketika di dunia.
taken from http://al-atsariyyah.com/?p=1390#more-1390

Saya Mu`min Insya Allah

Ucapan, “Saya mu`min insya Allah,” seperti di atas. Apa hukum seorang muslim mengucapkannya?
Sebelumnya perlu diketahui bahwa ucapan di atas -di kalangan para ulama- dikenal dengan nama ‘al-istitsna` fi al-iman’, yang artinya ‘pengecualian dalam masalah keimanan’.
Adapun hukumnya, berikut terjemahan dari ucapan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin rahimahullah:
Istitsna` dalam masalah keimanan adalah seseorang mengatakan, “Saya seorang mukmin insya Allah.”
Ulama berselisih paham menjadi tiga pendapat dalam permasalahan ini:
Pendapat pertama: Haramnya istitsna`.
Pendapat ini adalah pendapat sekte al-murji`ah, sekte al-Jahmiyah dan yang semisal mereka. Dasar pegangan pendapat ini bahwa iman itu adalah satu bagian yang diketahui oleh setiap orang di dalam dirinya, yaitu pembenaran sesuatu yang melekat didalam hatinya. Karenanya kalau seseorang mengucapkan istitsna` dalam keimanan maka pengecualian iman tersebut adalah bukti akan keraguanya. Olehnya itu mereka menamakan orang-orang yang membolehkan istitsna` sebagai kaum syakkakan (ragu-ragu).
Pendapat kedua: Wajibnya istitsna`dalam iman.
Dan pendapat ini mempunyai dua dasar argumentasi:
1.    Iman itu adalah keyakinan yang seseorang meninggal di atasnya, maka seseorang dihukumi mukmin atau kafir ditentukan dengan keadaan dia ketika meninggal, sementara hal ini adalah perkara yang terjadi di masa yang akan datang dan belum diketahui. Karena itu seorang tidak dapat memastikan bahwa dirinya beriman. Ini adalah landasan yang diutarakan oleh kalangan muta`akhkhirin dari pengikut sekte al-Kullabiyah dan selain mereka. Hanya saja argumen ini tidak diketahui oleh seorangpun dari ulama as-salaf yang berargumen dengannya, akan tetapi mereka (ulama as-salaf) hanya berargumen dengan landasan yang kedua, yaitu:
2.    Iman yang bersifat absolut (sempurna) mengandung pelaksanaan semua perintah dan meninggalkan semua larangan, dan sifat seperti ini tidak bisa dipastikan terdapat pada diri seseorang. Seandainya dia memastikannya maka berarti dia telah mengkultuskan dirinya dan telah menjamin bahwa dirinya termasuk dari orang-orang yang bertakwa lagi banyak kebaikannya. Hingga pada gilirannya dia mempersaksikan dirinya termasuk ke dalam penghuni surga. Kesemua kelaziman ini tertolak adanya.
Pendapat ketiga: Merinci makna al-istitsna` tersebut.
Kalau istitsna` itu lahir dari keraguan akan adanya asal (akar) keimanan dalam dirinya, maka itu diharamkan bahkan merupakan kekufuran. Karena keimanan adalah suatu ketetapan hati sementara keraguan bertentangan dengan ketetapan hati tersebut. Akan tetapi jika istitsna` itu lahir dari kekhawatiran pengkultusan dirinya dan persaksian bahwa dirinya telah menyempurnakan keimanan dengan ucapan, amalan dan keyakinannya, maka pengecualian (al-istitsna`) hukumnya wajib karena khawatir terjatuh dalam perkara yang terlarang. Dan kalau yang menjadi tujuan dalam istitsna` adalah untuk tabarruk (mengharap berkah) dengan menyebut masyi`ah (kehendak) Allah atau sebagai penjelasan sebab akibat, bahwa keimanan yang ada di dalam dirinya semata-mata karena kehendak Allah, maka ini hukumnya boleh.
Penggantungan sesuatu kepada masyiah Allah seperti di atas -maksud saya sebagai penjelasan sebab akibat- tidaklah meniadakan eksistensi keimanan, karena telah terdapat penggantungan –pada kehendak Allah- dalam konteks semacam ini dalam perkara-perkara yang sudah dipastikan terjadinya. Seperti firman Allah, “Bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman.” (QS. al-Fath: 27)
Dengan keterangan ini bisa diketahui tidak benarnya memberikan hukum yang bersifat absolut dalam masalah istitsna`/pengecualian iman, akan tetapi harus diberi perincian seperti yang dijelaskan sebelumnya, wallahu a’lam.
[Diterjemah dari Fathu Rabbi Al-Bariyah fasal terakhir]

Sumber: Al-Atsariyyah.com